Ibnu Khaldun
Peletak dasar ilmu sosiologi modern pertama di dunia 
Seorang sarjana sosiologi dari Italia, Gumplowiez, melalui 
penelitiannya yang cukup panjang berpendapat. "Kami ingin membuktikan 
bahwa sebelum Auguste Comte (1798-1857 M), dan Giovani Batista Vico 
(1668-1744),...  telah datang seorang muslim yang tunduk pada ajaran agamnya. Dia telah mempelajari gejala-geejala sosial dengan akalnya 
yang cemerlang. Apa yang ditulisnya itulah yang kini kita sebut 
sosiologi. (Gumplowicz, Ibnu Khaldun ein, arabischersoziologe des 14 
Jahrundert. Dalam 'Sociologigsche Essays', pp.201-202). 
Abdurrhaman Abu Zaid Waliuddin Bin Khaldun atau lebih dikenal Ibnu 
Khaldun, adalah seorang cendikiawan besar di zamannya. Dialah 
pencipta ilmu sosiologi modern, sebelum ilmuwan Eropa mengenal 
sosiologi, lewat bukunya yang terkenal Muqaddimah. Ilmu Khaldun juga 
seorang politisi ulung. Di antaranya ia pernah menduduki kursi 
perdana menteri. 
Muqaddimah Ibnu Khaldun tentu sudah sangat ketinggalan jika disamakan 
dengan karya-karya sosiologi termodern di penghujung abad ini. Namun 
jika dirunut kapan Muqaddimah lahir, tentu banyak orang akan 
terkesima. Siapa sangka karya ilmiah yang mampu menggambarkan 
persoalan-persoalan serta gejala masyarakat seperti yang telah 
dilakukan oleh ilmuwan masa kini semisal Durkheim melalui karyanya 
Les regles de la Methode Sociologigue itu, nyatanya sudah pernah 
ditulis Ibnu Khaldun seratus tahun yang lalu?
Bayangkan, satu abad yang lalu Ibnu Khaldun telah mampu memilah-milah 
ciri-ciri khas persoalan yang ada di masyarakat. Hal lain yang telah 
mampu dilakukannya adalah aturan-aturan tentang politik. Mencakup 
masalah pemerintahan, mengikat kesatuan kedaulatannya, serta ciri 
khas yang dimiliki oleh kedaulatan, hak-hak, kewajiban serta 
bagaimana diplomasi terhadap antar negara dan seterusnya. 
Studi Ibnu Khaldun juga telah membahas pengaruh geografis. Bahkan di 
Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun membahas letak geografis beserta 
pengaruhnya. Menurutnya, tidak satupun dari gejala sosial yang tidak 
ditempatkannya dalam hubungan dengan letak bumi dalam bentuk 
tertentu. Menurut Ibnu Khaldun, letak geografis merupakan faktor 
penyebab timbulnya perbedaan warna kulit, bentuk tubuh, 
kecenderungan, aktivitasnya, perbedaan adat, ilmu pengetahuan serta 
akhlaknya. Baginya, letak geografis tadi mempunyai pengaruh terhadap 
tradisi, kebiasaan, adat, ekonomi, ilmu pengetahuan, politik, ekonomi 
dan seluruh watak kesatuan sosial. (Muqaddimah, hal 275-344). 
Barangkali karena disiplin studi ini masih sangat baru dan langka, 
sehingga banyak ilmuwan terkenal yang kemudian menirunya. Di 
antaranya adalah ilmuwan Prancis Montesquieu (1689-1755 M).
Melalui bukunya yang terkenal L'Esprit des Lois, dia menulis secara 
berlebihan tentang pengaruh letak bumi pada ihwal manusia.
Ibnu Khaldun juga meneliti tentang pengaruh pimpinan terhadap 
perkembangan sosial masyarakat. Dalam Muqaddimah dia menyatakan bahwa 
penyebab masyarakat berkembang karena perbedaan peraturan pemerintah 
dan suksesi kepemimpinan yang ada. Teorinya ini dianggap mendekati 
teori yang dilakukan psokolog dan sosiolog modern seperti Maqdogal 
dari Inggris dan Tard dari Prancis. Dari kecanggihan ilmunya itulah 
sampai detik ini orang mengakuinya sebagai peletak dasar ilmu 
sosiologi modern pertama di dunia melalui pendekatan pragmatis. 
Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunisia pada awal Ramadhan tahun 732 H 
atau pada 27 Mei tahun 1333. Terlahir dengan nama lengkap Abdurrhaman 
Abu Zaid Waliuddin Bin Khaldun. Abdurrhaman adalah nama panggilan 
keluarganya dan Abu Zaid adalah gelarnya. Sedang Waliuddin adalah 
nama populernya. Lantas jika ia lebih dikenal dengan nama Ibnu 
Kaldun, karena dihubungkan dengan garis kakeknya yang kesembilan 
yaitu Khalid bin Ustman. Dialah orang pertama dari marga ini yang 
memasuki Andalusia bersama para penakluk dari bangsa Arab.
Keluarganya berasal dari Hadramaut (kini Yaman) dan silsilahnya 
sampai kepada seorang sahabat Nabi saw bernama Wail Hujr dari Kabilah 
Kindah. Salah seorang cucu Wail, Khalid bin Usman, memasuki darah 
Andalusia bersama orang-orang Arab penakluk pada awal abad ke-3 H (ke-
9 M). Kemudian anak cucu Khalid bin Usman membentuk satu keluarga 
besar dengan nama Bani Khaldun. Dari bani inilah asal nama Ibnu Khaldun. 
Bani lahir dan berkembang di kota Qarmunah (kini Carmona) di 
Andalusia (Spanyol) sebelum hijrah ke kota Isybilia (Sevila). Di kota 
yang terakhir ini Bani Khaldun berhasil menduduki beberapa jabatan 
penting. 
Sewaktu kecil Ibnu Kaldun sudah menghapal al-Quran dan mempelajari 
tajwid. Gurunya yang pertama adalah ayahnya sendiri. Waktu itu 
Tunisia menjadi pusat hijrahnya para ulama dan sastrawan dari negara-
negara Maghrib. Andalusia yang mengalami kekacauan akibat perebutan 
kekuasaan. Disamping belajar al-Quran pada ayahnya sendiri, Ibnu 
Khaldun belajar dari guru-gurunya mendalami qiraat Yaa'kub, ilmu 
syariat, tafsir, hadist, ushul, tauhid dan fiqih bermazhabkan Imam 
Maliki. Disamping itu dia juga mempelajari ilmu-ilmu bahasa, seperti 
bahasa nahwu, sharaf, balaghah, dan kesusastraan. Mempelajari logika, 
filsafat, serta ilmu-ilmu fisika dan matematika.
Dalam berbagai bidang ilmunya itu Ibnu Khaldun selalu membuat takjub 
guru-gurunya. Di antara gurunya yang banyak membentuk watak Ibnu 
Khaldun adalah Muhammad bin Abdil Muhaimin bin Abdi l-Muhaimin al-
Hadlrami. Saking cerdasnya Ibnu Khaldun, sampai-sampai setiap apa 
yang dipelajarinya selalu mendapat nilai yang sangat memuaskan dari 
guru-gurunya. 
Tahun 749 H studinya terhenti akibat terjangkitnya penyakit pes di 
sebagaian besar belahan dunia bagian timur dan bagian barat, meliputi 
negara-negara Islam di Samarkand, Maghribi hingga Italia. Sebagain 
besar negara-negara Eropa dan Andalus. Banyak korban akibat dari 
penyakit yang sedang melanda itu. Disebutkan, di Tunis, negeri dimana 
Ibnu Khaldun bertempat, ketika itu hampir seribu dua ratus jiwa rata-
rata meninggal. Di tempat ini dia kehilangan gurunya Abnu Abdil 
Muhaimin. Dari kejadian ini banyak di antara guru dan syeikh-syikhnya 
yang lari menyelamatkan diri menuju Maghrib Jauh (Maroko) bersama 
Sultannya Abul Hasan, penguasa daulah Bani Maryin waktu itu (750). 
Dari kejadian ini menyebabkan Ibnu Khaldun tidak mampu melanjutkan 
studinya. Dan kondisi merubah segala-galanya. Karena situasinya 
berubah, guru-gurunya sudah lari satu persatu, yang ada cuma sepi. 
Maka jalan yang bisa ditempuh Ibnu Khaldun tidak lain adalah mencari 
kesibukan kerja serta mengikuti jejak kakeknya untuk terjun ke dunia 
politik. Berkat komunikasinya dengan tokoh-tokoh dan ulama terkemuka 
setempat telah banyak membantunya mencapai jabatan tinggi.
TERJUN KE DUNIA POLITIK. Kesibukan menjadi pejabat dimulai tahun 750 
H (1350 M), setelah terjangkitnya penyakit pes. Di usianya yang baru 
21 tahun, Ibnu Khaldun diangkat sebagai sekretaris kesultanan Dinasti 
Hafs, al-Fadl di Tunisia. Tetapi kemudian dia berhenti karena 
penguasa yang didukungnya itu kalah perang pada tahun 753 H. Lalu dia 
pun hijrah di Baskarah, sebuah kota di Maghrib Tengah (Aljazair). 
Dari sana ia berusaha bertemu dengan Sultan Abu Anan, penguasa Bani 
Marin yang sedang berada di Tilmisan (ibu kota Maghrib Tengah) dan 
berusaha untuk menarik simpati dari Sultan. Tahun 755 H, baru 
kemudian dia diangkat menjadi anggota Majelis Ilmu Pengetahuan dan 
setahun kemudian menjadi sekretaris Sultan. Dengan dua kali diselingi 
pemenjaraannya, jabatan itu didudukinya sampai tahun 763 H (1316-1362 
M), ketika Wazir Umar bin Abdillah murka kepadanya dan 
memerintahkannya untuk meninggalkan negeri itu. 
Pada tahun 764 H, ia berangkat ke Granada. Oleh Sultan Bani Ahmar, ia 
diberi tugas menjadi duta negara di Castilla (sebuah kerajaan 
berpenduduk Kristen yang berpusat di Sevilla) yang membuahkan hasil 
dengan gemilang. Akan tetapi setelah itu hubungannya dengan Sultan 
agak retak. Selanjutnya tahun 766 H (1364 M) dia pergi ke Bijayah 
(pesisir Laut Tengah di Al Jazair) atas undangan penguasa Bani Hafs, 
Abu Abdillah Muhammad, yang kemudian mengangkatnya menjadi perdana 
menteri dan khatib. Setahun kemudian Bijayah jatuh pada Sultan Abul 
Abbas Ahmad, Gubernur Qasanthinah (sebuah kota di Aljazair). Pada 
penguasa baru ini Ibnu Khaldun menduduki pada jabatan yang sama, 
namun tidak lama setelah itu dia pergi ke Baskarah.
Dari Baskarah ia berkirim surat kepada Abu Hammu, Sultan Tilmisan 
dari Bani Abdil Wad. Kepada Sultan ia menjanjikan dukungan. Oleh 
Sultan kemudian dia diberi jabatan sangat penting namun ditolaknya. 
Sebab, dia ingin melanjutkan studi yang telah lama terhenti. Tetapi 
ia bersedia kampanye mendukung Abu Hammu. Setelah berhasil ia baru 
berangkat ke Tilmisan. Tatkala Abu Hammu ditaklukkan Sultan Abul Aziz 
(Bani Marin), Ibnu Khaldun beralih berpihak kepada Abdul Aziz dan 
tinggal di Baskarah. Namun dalam waktu singkat, Tilmisan kembali 
direbut Abu Hammu. Maka Ibnu Khaldun menyelamatkan diri ke Fez (774 H). 
Ketika Fez direbut Sultan Abul Abbas Ahmad (776 H), Ibnu Khaldun 
pergi ke Granada untuk kedua kalinya. Tetapi Sultan Abul Abbas Ahmad 
melarangnya tinggal di daerah kekuasaannya. Akhirnya Ibnu Khaldun 
kembali ke Tilmisan. Sesampai di Tilmisan dia masih diterima dengan 
baik oleh Abu Hammu, meskipun ia sudah pernah bersalah pada penguasa 
Tilmisan itu. Ia berjanji untuk tidak terjun lagi pada dunia politik. 
Akhirnya Ibnu Khaldun menyepi di Qal'at Ibnu Salamah dan menetap di 
sana sampai 780 H (1378 M). Di sinilah dia memulai aktif dalam dunia 
mengarang. 
MENGHASILKAN KARYA-KARYA LEGENDARIS. 
Ibnu Khaldun memulai karyanya 
menumental yang pertama, Kitab al-Ibar wa Diwan al-Mubtada' wa al-
Khabar fi Ayyam al-Arab wa al-Ajam wa al-Barbar, atau kitab al-'Ibar 
(sejarah umum) yang berisi 7 jilid. Terbitan Cairo di tahun 1284. 
Saat itu usiannya mencapai 40 tahun. Kitab legendaris itu didahului 
oleh sebuah pembahasan tentang masalah-masalah sosial menusia, yang 
kemudian dikenal dengan Muqaddimah Ibnu Khaldun, yang terdiri dari 
pengantar sepanjang tujuh halaman dan sebuah pendahuluan kecil yang 
dinamai Ibnu Khaldun:Pendahuluan tentang Keutamaan Ilmu Sejarah 
sepanjang tiga puluh halaman. 
Muqaddimah berisi tentang jalan menuju pembahasan ilmu-ilmu sosial. 
Oleh karena itu dalam sejarah Islam, Ibnu Khaldun dipandang sebagai 
peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. Menurut pendapatnya 
politik tidak dapat dipisah dengan kebudayaan, dan masyarakat. Bahkan 
pada saat itu Ibnu Khaldun sudah mampu melakukan klafisikasi 
masyarakat seperti ilmu sosiologi modern (saat ini). Menurutnya 
masyarakat itu dibedakan antara masyarakat kota (badawah) dan 
masyarakat desa (hadarah).
Ibnu Khaldun juga melakukan spesialisasi ilmu. Menurutnya Studi Islam 
itu terdiri dari 'ulum tabi'yyah (meliputi mantiq atau logika, hisab, 
aritmatika, geometri atau handasah, astronomi atau alhaia, kedokteran 
atau tib, pertanian atau al-falahah) dan 'ulum naqliyah(meliputi 
agama dan syariat, Al-Qur'an, fikih, kalam atau teologi, serta 
tasawuf) . 
Tahun 780 H (1378 M), Ibnu Khaldun kembali ke tanah airnya, Tunisia 
untu studi pustaka. Dengan menelah beberapa kitab sebagai bahan 
koreksi atas bukunya al-Ibar. Tahun 784 H dia berangkat ke Cairo. Di 
sana kedatangannya disambut para ulama dan penduduk setempat dengan 
rasa suka cita. Setelah itu di Al-Azhar dia membentuk sebuah halaqah, 
memberi ceramah ilmiah dan memberi kuliah. Dua tahun setelah itu raja 
menunjukkan menjadi dosen dalam ilmu fikih Mazhab Maliki di Madrasah 
al-Qamhiyah. Selanjutnya dia diangkat menjadi pengadilan kerajaan. 
Tetapi setahun kemudian keluarganya mendapat musibah. Kapal yang 
membawa istri dan anak-anaknya tenggelam setelah merapat di 
Iskandariah. Maka dia mengundurkan diri dari jabatannya, tetapi raja 
mengangkatnya kembali menjadi dosen di beberapa madrasah termasuk di 
Khanqah Beibers, semacam tarekat. 
Tahun 789 (1387 M) dia menunaikan ibadah haji lalu kembali ke Cairo. 
Setahun berikutnya raja mengangkatnya sebagai ketua penga- dilan 
namun tidak lama setelah itu dia mengundurkan diri. Tahun 803 H (1401 
M) ia ikut menemani Sultan ke Damascus dalam satu pasukan untuk 
menahan serangan pasukan Timur Lenk, penguasa Mogul. Setelah kembali 
ke Cairo dia kembali ditunjuk untuk mendu- duki jabatan ketua 
pengadilan kerajaan, dan tetap dalam jabatan itu sampai ia dipanggil 
ke rahmatullah. 
  
Ibnu Abbas, Profil Ulama Pencinta Ilmu 
Saya yakin nama Ibnu Abbas bukanlah nama asing di telinga umat Islam. Dia adalah sahabat Rasulullah sekaligus keluarga dekat yang menguasai Al-Qur`an dan maknanya. Dia menguasai Al-Qur`an sampai ke dasar-dasarnya.
Nama sebenarnya adalah Abdullah bin Abbas, putra paman Rasulullah Saw., Abbas bin Abdul Muthalib. Dia lahir tiga tahun sebelum hijrah. Ketika Rasulullah Saw. wafat, Ibnu Abbas baru berumur 13 tahun. Dalam usia remaja itu, dia telah mampu menghafal 1660 hadits. Hadits-hadits itulah yang mengikat hati-hati kaum Muslimin menjadi satu ikatan hingga kini. Hadits-hadits Rasulullah Saw. yang dihafal Ibnu Abbas banyak dicatat oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab shahih mereka.
Sejak usia enam tahun, Ibnu Abbas telah tinggal bersama Rasulullah. Dia menyediakan air wudhu beliau bila hendak shalat. Ibnu Abbas juga selalu shalat di belakang Rasulullah. Kemana pun Rasulullah Saw. pergi, Ibnu Abbas hampir selalu menyertainya. Segala peristiwa yang dialami Nabi Saw. direkam dalam hati dan pikirannya.
Suatu hari, ketika Rasulullah Saw. hendak melaksanakan shalat, Ibnu Abbas seperti biasa menyediakan air wudhu buat beliau. Rasulullah amat senang. Tatkala hendak memulai shalat, beliau memberi isyarat agar Ibnu Abbas berdiri di sampingnya. Tapi Ibnu Abbas berdiri di belakangnya. Usai shalat, beliau menoleh dan bertanya kepada Ibnu Abbas, "Mengapa engkau tidak berdiri disampingku." Ibnu Abbas menjawab, "Anda sangat tinggi dalam pandanganku dan amat mulia. Tak pantas aku berdiri disamping anda." Lalu Rasulullah Saw. berdoa, "Ya Allah, berilah dia hikmah."
Allah mengabulkan doa Rasulallah, dan memberi Ibnu Abbas hikmah. Ilmu hikmah yang dikuasai Ibnu Abbas melebihi para ahli hikmah yang ada saat itu. Dengan kedalaman ilmunya itu, Ibnu Abbas berhasil mengembalikan sekitar 20.000 kaum Muslimin yang sebelumnya memusuhi Ali bin Abi Thalib.
Meski telah diberikan ilmu hikmah, Ibnu Abbas tak pernah berhenti menuntut ilmu. Bila seseorang menyampaikan sebuah hadits yang diterima dari salah seorang sahabat, maka ia mendatangi orang itu ke rumahnya untuk menanyakan hal itu. Ibnu Abbas berprinsip, "ilmu harus didatangi, bukan ilmu yang mendatangi".
Kedalaman ilmu Ibnu Abbas diakui oleh beberapa ulama besar. Masruq bin Ajda, seorang ulama Tabi'in berkata, "Wajah Ibnu Abbas sangat elok. Bila berbicara sangat fasih. Dan bila menyampaikan hadits, dia sangat ahli dalam bidang itu."
Untuk mengamalkan ilmunya itu, Ibnu Abbas menjadikan rumahnya sebagai majelis ilmu kaum Muslimin. Setiap orang yang mau mempelajari Al-Qur`an diundangnya masuk. Begitu pun dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti Tafsir Al-Qur`an dan Ta'wilnya, ilmu Fara`id, Sastra Arab, Ilmu Fiqih, dan lain-lain. Setiap pertanyaan dijawab secara detil, lengkap dengan dalil-dalilnya. (sh)
 
HARUN YAHYA
Banyak  yang  beranggapan  bahwa  untuk  "berpikir  secara  mendalam",
seseorang  perlu  memegang  kepala dengan kedua telapak tangannya, dan
menyendiri  di  sebuah  ruangan  yang  sunyi,  jauh dari keramaian dan
segala  urusan  yang  ada.  Sungguh, mereka telah menganggap "berpikir
secara  mendalam"  sebagai  sesuatu  yang memberatkan dan menyusahkan.
Mereka  berkesimpulan  bahwa  pekerjaan  ini  hanyalah  untuk kalangan
"filosof".
Padahal,   sebagaimana   telah  disebutkan  dalam  pendahuluan,  Allah
mewajibkan manusia untuk berpikir secara mendalam atau merenung. Allah
berfirman  bahwa  Al-Qur'an diturunkan kepada manusia untuk dipikirkan
atau direnungkan:
"Ini  adalah  sebuah  kitab  yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan
berkah  supaya  mereka  memperhatikan  (merenungkan)  ayat-ayatnya dan
supaya  mendapat  pelajaran  orang-orang  yang mempunyai pikiran" (QS.
Shaad, 38: 29).
Yang  ditekankan  di sini adalah bahwa setiap orang hendaknya berusaha
secara ikhlas sekuat tenaga dalam meningkatkan kemampuan dan kedalaman
berpikir.
Sebaliknya,   orang-orang  yang  tidak  mau  berusaha  untuk  berpikir
mendalam  akan  terus-menerus  hidup dalam kelalaian yang sangat. Kata
kelalaian mengandung arti
"ketidakpedulian   (tetapi   bukan   melupakan),  meninggalkan,  dalam
kekeliruan,  tidak menghiraukan, dalam kecerobohan". Kelalaian manusia
yang  tidak berpikir adalah akibat melupakan atau secara sengaja tidak
menghiraukan  tujuan  penciptaan  diri  mereka  serta kebenaran ajaran
agama.  Ini  adalah  jalan  hidup  yang  sangat  berbahaya  yang dapat
menghantarkan  seseorang  ke  neraka.  Berkenaan  dengan hal tersebut,
Allah  memperingatkan  manusia  agar  tidak  termasuk  dalam  golongan
orang-orang yang lalai:
"Dan  sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan
rasa  takut,  dan  dengan  tidak  mengeraskan suara, di waktu pagi dan
petang,  dan  janganlah  kamu  termasuk  orang-orang yang lalai." (QS.
Al-A'raaf, 7: 205)
"Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika
segala  perkara  telah  diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka
tidak (pula) beriman." (QS. Maryam, 19: 39)
Dalam Al-Qur'an, Allah menyebutkan tentang mereka yang berpikir secara
sadar,  kemudian  merenung  dan  pada akhirnya sampai kepada kebenaran
yang  menjadikan  mereka  takut  kepada  Allah. Sebaliknya, Allah juga
menyatakan  bahwa  orang-orang  yang  mengikuti  para pendahulu mereka
secara  taklid  buta  tanpa  berpikir, ataupun hanya sekedar mengikuti
kebiasaan  yang  ada,  berada  dalam  kekeliruan. Ketika ditanya, para
pengekor  yang  tidak mau berpikir tersebut akan menjawab bahwa mereka
adalah  orang-orang  yang  menjalankan agama dan beriman kepada Allah.
Tetapi  karena  tidak  berpikir,  mereka  sekedar melakukan ibadah dan
aktifitas  hidup  tanpa  disertai  rasa takut kepada Allah. Mentalitas
golongan ini sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur'an:
Katakanlah:  "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya,
jika kamu mengetahui?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu
tidak ingat?"
Katakanlah:  "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya
'Arsy yang besar?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu
tidak bertakwa?"
Katakanlah:  "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala
sesuatu  sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi
dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?"
Mereka   akan   menjawab:   "Kepunyaan   Allah."  Katakanlah:  "(Kalau
demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir)?"
"Sebenarnya   Kami   telah   membawa   kebenaran  kepada  mereka,  dan
sesungguhnya  mereka  benar-benar  orang-orang  yang  berdusta."  (QS.
Al-Mu'minuun, 23: 84-90)
Berpikir dapat membebaskan seseorang dari belenggu sihir
Dalam  ayat  di atas, Allah bertanya kepada manusia, "…maka dari jalan
manakah  kamu  ditipu  (disihir)?.  Kata disihir atau tersihir di sini
mempunyai  makna  kelumpuhan  mental  atau akal yang menguasai manusia
secara  menyeluruh.  Akal  yang tidak digunakan untuk berpikir berarti
bahwa   akal   tersebut   telah  lumpuh,  penglihatan  menjadi  kabur,
berperilaku  sebagaimana  seseorang  yang  tidak  melihat kenyataan di
depan  matanya,  sarana yang dimiliki untuk membedakan yang benar dari
yang  salah  menjadi  lemah.  Ia tidak mampu memahami sebuah kebenaran
yang  sederhana  sekalipun.  Ia tidak dapat membangkitkan kesadarannya
untuk   memahami   peristiwa-peristiwa  luar  biasa  yang  terjadi  di
sekitarnya.   Ia   tidak   mampu   melihat  bagian-bagian  rumit  dari
peristiwa-peristiwa  yang  ada. Apa yang menyebabkan masyarakat secara
keseluruhan  tenggelam  dalam  kehidupan yang melalaikan selama ribuan
tahun  serta  menjauhkan diri dari berpikir sehingga seolah-olah telah
menjadi sebuah tradisi adalah kelumpuhan akal ini.
Pengaruh   sihir  yang  bersifat  kolektif  tersebut  dapat  dikiaskan
sebagaimana berikut:
Dibawah permukaan bumi terdapat sebuah lapisan mendidih yang dinamakan
magma,  padahal  kerak  bumi sangatlah tipis. Tebal lapisan kerak bumi
dibandingkan  keseluruhan  bumi  adalah  sebagaimana  tebal kulit apel
dibandingkan  buah  apel  itu  sendiri.  Ini  berarti bahwa magma yang
membara  tersebut  demikian dekatnya dengan kita, dibawah telapak kaki
kita!
Setiap orang mengetahui bahwa di bawah permukaan bumi ada lapisan yang
mendidih  dengan  suhu yang sangat panas, tetapi manusia tidak terlalu
memikirkannya.  Hal  ini  dikarenakan  para  orang tua, sanak saudara,
kerabat,  teman,  tetangga, penulis artikel di koran yang mereka baca,
produser acara-acara TV dan professor mereka di universitas tidak juga
memikirkannya.
Ijinkanlah  kami  mengajak anda berpikir sebentar tentang masalah ini.
Anggaplah  seseorang  yang  telah  kehilangan  ingatan  berusaha untuk
mengenal  sekelilingnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
setiap  orang  di sekitarnya. Pertama-tama ia menanyakan tempat dimana
ia  berada.  Apakah  kira-kira  yang  akan  muncul di benaknya apabila
diberitahukan  bahwa  di bawah tempat dia berdiri terdapat sebuah bola
api  mendidih  yang dapat memancar dan berhamburan dari permukaan bumi
pada  saat  terjadi  gempa  yang  hebat atau gunung meletus? Mari kita
berbicara  lebih  jauh  dan anggaplah orang ini telah diberitahu bahwa
bumi  tempat  ia  berada  hanyalah  sebuah planet kecil yang mengapung
dalam  ruang  yang  sangat  luas,  gelap  dan hampa yang disebut ruang
angkasa.  Ruang  angkasa  ini memiliki potensi bahaya yang lebih besar
dibandingkan  materi  bumi  tersebut,  misalnya:  meteor-meteor dengan
berat berton-ton yang bergerak dengan leluasa di dalamnya. Bukan tidak
mungkin  meteor-meteor  tersebut  bergerak  ke  arah bumi dan kemudian
menabraknya.
Mustahil orang ini mampu untuk tidak berpikir sedetikpun ketika berada
di tempat yang penuh dengan bahaya yang setiap saat mengancam jiwanya.
Ia  pun akan berpikir pula bagaimana mungkin manusia dapat hidup dalam
sebuah  planet  yang  sebenarnya  senantiasa  berada  di ujung tanduk,
sangat  rapuh  dan  membahayakan nyawanya. Ia lalu sadar bahwa kondisi
ini  hanya  terjadi  karena  adanya  sebuah sistim yang sempurna tanpa
cacat  sedikitpun. Kendatipun bumi, tempat ia tinggal, memiliki bahaya
yang  luar  biasa besarnya, namun padanya terdapat sistim keseimbangan
yang  sangat  akurat  yang  mampu  mencegah bahaya tersebut agar tidak
menimpa manusia. Seseorang yang menyadari hal ini, memahami bahwa bumi
dan  segala  makhluk  di  atasnya dapat melangsungkan kehidupan dengan
selamat   hanya   dengan   kehendak   Allah,  disebabkan  oleh  adanya
keseimbangan alam yang sempurna dan tanpa cacat yang diciptakan-Nya.
Contoh  di  atas  hanyalah satu diantara jutaan, atau bahkan trilyunan
contoh-contoh  yang  hendaknya  direnungkan oleh manusia. Di bawah ini
satu  lagi contoh yang mudah-mudahan membantu dalam memahami bagaimana
"kondisi   lalai"  dapat  mempengaruhi  sarana  berpikir  manusia  dan
melumpuhkan kemampuan akalnya.
Manusia  mengetahui  bahwa  kehidupan  di  dunia  berlalu dan berakhir
sangat  cepat.  Anehnya, masih saja mereka bertingkah laku seolah-olah
mereka   tidak   akan  pernah  meninggalkan  dunia.  Mereka  melakukan
pekerjaan seakan-akan di dunia tidak ada kematian. Sungguh, ini adalah
sebuah bentuk sihir atau mantra yang terwariskan secara turun-temurun.
Keadaan  ini  berpengaruh sedemikian besarnya sehingga ketika ada yang
berbicara  tentang  kematian,  orang-orang  dengan segera menghentikan
topik   tersebut   karena  takut  kehilangan  sihir  yang  selama  ini
membelenggu  mereka  dan  tidak  berani menghadapi kenyataan tersebut.
Orang  yang  mengabiskan  seluruh  hidupnya  untuk  membeli rumah yang
bagus,  penginapan  musim  panas,  mobil  dan  kemudian  menyekolahkan
anak-anak  mereka  ke  sekolah  yang bagus, tidak ingin berpikir bahwa
pada  suatu  hari mereka akan mati dan tidak akan dapat membawa mobil,
rumah, ataupun anak-anak beserta mereka. Akibatnya, daripada melakukan
sesuatu untuk kehidupan yang hakiki setelah mati, mereka memilih untuk
tidak berpikir tentang kematian.
Namun,  cepat  atau  lambat setiap manusia pasti akan menemui ajalnya.
Setelah  itu,  percaya  atau  tidak,  setiap orang akan memulai sebuah
kehidupan   yang   kekal.  Apakah  kehidupannya  yang  abadi  tersebut
berlangsung  di  surga  atau di neraka, tergantung dari amal perbuatan
selama  hidupnya  yang  singkat di dunia. Karena hal ini adalah sebuah
kebenaran  yang  pasti  akan terjadi, maka satu-satunya alasan mengapa
manusia  bertingkah  laku  seolah-olah mati itu tidak ada adalah sihir
yang  telah  menutup atau membelenggu mereka akibat tidak berpikir dan
merenung.
Orang-orang yang tidak dapat membebaskan diri mereka dari sihir dengan
cara  berpikir, yang mengakibatkan mereka berada dalam kelalaian, akan
melihat  kebenaran  dengan  mata  kepala mereka sendiri setelah mereka
mati, sebagaimana yang diberitakan Allah kepada kita dalam Al-Qur'an :
"Sesungguhnya  kamu  berada  dalam  keadaan lalai dari (hal) ini, maka
Kami   singkapkan   daripadamu  tutup  (yang  menutupi)  matamu,  maka
penglihatanmu pada hari itu amat tajam." (QS. Qaaf, 50: 22)
Dalam  ayat  di  atas penglihatan seseorang menjadi kabur akibat tidak
mau  berpikir,  akan  tetapi  penglihatannya  menjadi tajam setelah ia
dibangkitkan dari alam kubur dan ketika mempertanggung jawabkan segala
amal perbuatannya di akhirat.
Perlu  digaris  bawahi  bahwa  manusia mungkin saja membiarkan dirinya
secara   sengaja   untuk   dibelenggu   oleh  sihir  tersebut.  Mereka
beranggapan  bahwa  dengan  melakukan hal ini mereka akan hidup dengan
tentram.  Syukurlah  bahwa  ternyata sangat mudah bagi seseorang untuk
merubah kondisi yang demikian serta melenyapkan kelumpuhan mental atau
akalnya,  sehingga  ia  dapat  hidup  dalam kesadaran untuk mengetahui
kenyataan. Allah telah memberikan jalan keluar kepada manusia; manusia
yang  merenung  dan  berpikir akan mampu melepaskan diri dari belenggu
sihir  pada  saat mereka masih di dunia. Selanjutnya, ia akan memahami
tujuan  dan  makna  yang hakiki dari segala peristiwa yang ada. Ia pun
akan  mampu  memahami  kebijaksanaan  dari  apapun yang Allah ciptakan
setiap saat.
Seseorang dapat berpikir kapanpun dan dimanapun
Berpikir  tidaklah  memerlukan  waktu,  tempat ataupun kondisi khusus.
Seseorang  dapat  berpikir sambil berjalan di jalan raya, ketika pergi
ke  kantor,  mengemudi  mobil,  bekerja  di depan komputer, menghadiri
pertemuan  dengan  rekan-rekan, melihat TV ataupun ketika sedang makan
siang.
Misalnya:  di  saat  sedang mengemudi mobil, seseorang melihat ratusan
orang  berada  di  luar. Ketika menyaksikan mereka, ia terdorong untuk
berpikir   tentang   berbagai  macam  hal.  Dalam  benaknya  tergambar
penampilan  fisik  dari  ratusan  orang yang sedang disaksikannya yang
sama  sekali  berbeda satu sama lain. Tak satupun diantara mereka yang
mirip  dengan  yang  lain. Sungguh menakjubkan: kendatipun orang-orang
ini  memiliki  anggota  tubuh  yang sama, misalnya sama-sama mempunyai
mata,  alis, bulu mata, tangan, lengan, kaki, mulut dan hidung; tetapi
mereka terlihat sangat berbeda satu sama lain. Ketika berpikir sedikit
mendalam, ia akan teringat bahwa:
Allah telah menciptakan bilyunan manusia selama ribuan tahun, semuanya
berbeda  satu dengan yang lain. Ini adalah bukti nyata tentang ke Maha
Perkasaan dan ke Maha Besaran Allah.
Menyaksikan manusia yang sedang lalu lalang dan bergegas menuju tempat
tujuan  mereka  masing-masing,  dapat  memunculkan  beragam pikiran di
benak  seseorang. Ketika pertama kali memandang, muncul di pikirannya:
manusia  yang jumlahnya banyak ini terdiri atas individu-individu yang
khas  dan unik. Tiap individu memiliki dunia, keinginan, rencana, cara
hidup,  hal-hal  yang membuatnya bahagia atau sedih, serta perasaannya
sendiri.  Secara  umum,  setiap  manusia  dilahirkan, tumbuh besar dan
dewasa,  mendapatkan  pendidikan, mencari pekerjaan, bekerja, menikah,
mempunyai  anak,  menyekolahkan  dan  menikahkan anak-anaknya, menjadi
tua,  menjadi  nenek  atau  kakek  dan  pada akhirnya meninggal dunia.
Dilihat  dari  sudut  pandang  ini,  ternyata  perjalanan  hidup semua
manusia  tidaklah  jauh berbeda; tidak terlalu penting apakah ia hidup
di  perkampungan  di  kota Istanbul atau di kota besar seperti Mexico,
tidak  ada bedanya sedikitpun. Semua orang suatu saat pasti akan mati,
seratus  tahun lagi mungkin tak satupun dari orang-orang tersebut yang
akan masih hidup. Menyadari kenyataan ini, seseorang akan berpikir dan
bertanya  kepada  dirinya  sendiri:  "Jika  kita semua suatu hari akan
mati,  lalu  apakah  gerangan yang menyebabkan manusia bertingkah laku
seakan-akan  mereka  tak akan pernah meninggalkan dunia ini? Seseorang
yang  akan  mati sudah sepatutnya beramal secara sungguh-sungguh untuk
kehidupannya   setelah  mati;  tetapi  mengapa  hampir  semua  manusia
berkelakuan   seolah-olah  hidup  mereka  di  dunia  tak  akan  pernah
berakhir?"
Orang  yang  memikirkan  hal-hal  semacam ini lah yang dinamakan orang
yang  berpikir  dan  mencapai kesimpulan yang sangat bermakna dari apa
yang ia pikirkan.
Sebagian besar manusia tidak berpikir tentang masalah kematian dan apa
yang  terjadi  setelahnya. Ketika mendadak ditanya,"Apakah yang sedang
anda  pikirkan  saat  ini?",  maka  akan  terlihat bahwa mereka sedang
memikirkan   segala   sesuatu   yang   sebenarnya  tidak  perlu  untuk
dipikirkan,  sehingga tidak akan banyak manfaatnya bagi mereka. Namun,
seseorang bisa juga "berpikir" hal-hal yang "bermakna", "penuh hikmah"
dan  "penting"  setiap  saat  semenjak  bangun tidur hingga kembali ke
tempat tidur, dan mengambil pelajaran ataupun kesimpulan dari apa yang
dipikirkannya.
Dalam  Al-Qur'an,  Allah  menyatakan  bahwa  orang-orang  yang beriman
memikirkan  dan  merenungkan  secara mendalam segala kejadian yang ada
dan mengambil pelajaran yang berguna dari apa yang mereka pikirkan.
"Sesungguhnya  dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam  dan  siang  terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu)  orang-orang  yang  mengingat  Allah sambil berdiri atau duduk
atau  dalam  keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit  dan  bumi  (seraya  berkata):  "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan  ini  dengan  sia-sia,  Maha Suci Engkau, maka peliharalah
kami dari siksa neraka." (QS. Aali 'Imraan, 3: 190-191).
Ayat  di  atas  menyatakan  bahwa oleh karena orang-orang yang beriman
adalah  mereka  yang  berpikir, maka mereka mampu melihat hal-hal yang
menakjubkan  dari ciptaan Allah dan mengagungkan Kebesaran, Ilmu serta
Kebijaksanaan Allah.
Berpikir dengan ikhlas sambil menghadapkan diri kepada Allah
Agar   sebuah   perenungan   menghasilkan   manfaat   dan   seterusnya
menghantarkan  kepada  sebuah  kesimpulan  yang  benar, maka seseorang
harus  berpikir positif. Misalnya: seseorang melihat orang lain dengan
penampilan  fisik yang lebih baik dari dirinya. Ia lalu merasa dirinya
rendah  karena  kekurangan  yang ada pada fisiknya dibandingkan dengan
orang  tersebut yang tampak lebih rupawan. Atau ia merasa iri terhadap
orang  tersebut. Ini adalah pikiran yang tidak dikehendaki Allah. Jika
ridha Allah yang dicari, maka seharusnya ia menganggap bagusnya bentuk
rupa  orang  yang  ia  lihat  sebagai  wujud  dari  ciptaan Allah yang
sempurna.  Dengan  melihat orang yang rupawan sebagai sebuah keindahan
yang  Allah  ciptakan  akan  memberikannya  kepuasan. Ia berdoa kepada
Allah  agar menambah keindahan orang tersebut di akhirat. Sedang untuk
dirinya   sendiri,  ia  juga  meminta  kepada  Allah  agar  dikaruniai
keindahan   yang  hakiki  dan  abadi  di  akhirat  kelak.  Hal  serupa
seringkali  dialami  oleh  seorang  hamba yang sedang diuji oleh Allah
untuk  mengetahui  apakah dalam ujian tersebut ia menunjukkan perilaku
serta pola pikir yang baik yang diridhai Allah atau sebaliknya.
Keberhasilan  dalam  menempuh  ujian  tersebut,  yakni dalam melakukan
perenungan  ataupun  proses  berpikir yang mendatangkan kebahagiaan di
akhirat,  masih  ditentukan  oleh kemauannya dalam mengambil pelajaran
atau  peringatan  dari  apa  yang  ia renungkan. Karena itu, sangatlah
ditekankan  disini  bahwa  seseorang  hendaknya selalu berpikir secara
ikhlas  sambil  menghadapkan  diri kepada Allah. Allah berfirman dalam
Al-Qur'an :
"Dia  lah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan
menurunkan  untukmu rezki dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran
kecuali  orang-orang  yang  kembali (kepada Allah)." (QS. Ghaafir, 40:
13).
Fatimah adalah "ibu dari ayahnya." Dia adalah puteri yang
mulia dari dua pihak, yaitu puteri pemimpin para makhluq Rasulullah
SAW, Abil Qasim, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim.
Dia juga digelari Al-Batuul, yaitu yang memusatkan perhatiannya pada
ibadah atau tiada bandingnya dalam hal keutamaan, ilmu, akhlaq, adab,
hasab dan nasab.
Fatimah lebih muda dari Zainab, isteri Abil Ash bin Rabi' dan
Ruqayyah, isteri Utsman bin Affan. Juga dia lebih muda dari Ummu Kul-
tsum. Dia adalah anak yang paling dicintai Nabi SAW sehingga beliau
bersabda :"Fatimah adalah darah dagingku, apa yang menyusahkannya juga
menyusahkan aku dan apa yang mengganggunya juga menggangguku." [Ibnul
Abdil Barr dalam "Al-Istii'aab"]
        Sesungguhnya dia adalah pemimpin wanita dunia dan penghuni
syurga yang paling utama, puteri kekasih Robbil'aalamiin, dan ibu dari
Al-Hasan dan Al-Husein. Az-Zubair bin Bukar berkata :"Keturunan Zainab
telah tiada dan telah sah riwayat, bahwa Rasulullah SAW menyelimuti
Fatimah dan suaminya serta kedua puteranya dengan pakaian seraya ber-
kata :"Ya, Allah, mereka ini adalah ahli baitku. Maka hilangkanlah
dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya." ["Siyar
A'laamin Nubala', juz 2, halaman 88]
        Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata :"Datang Fatimah kepada
Nabi SAW meminta pelayan kepadanya. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya :
"Ucapkanlah :"Wahai Allah, Tuhan pemilik bumi dan Arsy yang agung.
Wahai, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu yang menurunkan Taurat,
Injil dan Furqan, yang membelah biji dan benih. Aku berlindung kepada-
Mu dari kejahatan segala sesuatu yang Engkau kuasai nyawanya. Engkau-
lah awal dan tiada sesuatu sebelum-Mu. Engkau-lah yang akhir dan tiada
sesuatu di atas-Mu. Engkau-lah yang batin dan tiada sesuatu di bawah-
Mu. Lunaskanlah utangku dan cukupkan aku dari kekurangan." (HR. Tirmidzi)
        Inilah Fatimah binti Muhammad SAW yang melayani diri sendiri
dan menanggung berbagai beban rumahnya. Thabrani menceritakan, bahwa
ketika kaum Musyrikin telah meninggalkan medan perang Uhud, wanita-
wanita sahabah keluar untuk memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin.
Di antara mereka yang keluar terdapat Fatimah. Ketika bertemu Nabi SAW,
Fatimah memeluk dan mencuci luka-lukanydengan air, sehingga darah
semakin banyak yangk keluar. Tatkala Fatimah melihat hal itu, dia
mengambil sepotong tikar, lalu membakar dan membubuhkannya pada luka
itu sehingga melekat dan darahnya berhenti keluar." (HR. Syaikha dan
Tirmidzi) Dalam kancah pertarungan yang dialami ut kita, tampaklah
peranan puteri Muslim supaya menjadi teladan yang baik bagi pemudi
Muslim masa kini.
        Pemimpin wanita penghuni Syurga Fatimah Az-Zahra', puteri Nabi
SAW, di tengah-tengah pertempuran tidak berada dalam sebuah panggung
yang besar, tetapi bekerja di antara tikaman-tikaman tombak dan pukulan-
pukulan pedang serta hujan anak panah yang menimpa kaum Muslimin untuk
menyampaikan makanan, obat dan air bagi para prajurit. Inilah gambaran
lain dari pute sebaik-baik makhluk yang kami persembahkan kepadada para
pengantin masa kini yang membebani para suami dengan tugas yang tidak
dapat dipenuhi.
        Ali r.a. berkata :"Aku menikahi Fatimah, sementara kami tidak
mempunyai alas tidur selain kulit domba untuk kami tiduri di waktu
malam dan kami letakkan di atas unta untuk mengambil air di siang hari.
Kami tidak mempunyai pembantu selain unta itu." Ketika Rasulullah SAW
menikahkannya (Fatimah), belmengirimkannya (unta itu) bersama satu
lembar kain dan bantal kulit berisi ijuk dan dua alat penggiling gandum,
sebuah timba dan dua kendi. Fatimah menggunakan alat penggiling gandum
itu hingga melecetkan tangannya dan memikul qirbah (tempat air dari kulit)
berisi air hingga berbekas pada dadanya. Dia menyapu rumah hingga berdebu
bajunya dan menyalakan api di bawah panci hingga mengotorinya juga. Inilah
dia, Az-Zahra', ibu kedua cucu Rasulullah SAW :Al-Hasan dan Al-Husein.
        Fatimah selalu berada di sampingnya, maka tidaklah mengherankan
bila dia meninggalkan bekas yang paling indah di dalam hatinya yang
penyayang. Dunia selalu mengingat Fatimah, "ibu ayahnya, Muhammad", Al-
Batuul (yang mencurahkan perhatiannya pada ibadah), Az-Zahra' (yang ce-
merlang), Ath-Thahirah (yang suci), yang taat beribadah dan menjauhi
keduniaan. Setiap merasa lapar, dia selalu sujud, dan setiap merasa payah,
dia selalu berdzikir. Imam Muslim menceritakan kepada kita tentang keuta-
maan-keutamaannya dan meriwayatkan dari Aisyah' r.a. dia berkata :
        "Pernah isteri-isteri Nabi SAW berkumpul di tempat Nabi SAW. Lalu
datang Fatimah r.a. sambil berjalan, sedang jalannya mirip dengan jalan
Rasulullah SAW. Ketika Nabi SAW melihatnya, beliau menyambutnya seraya
berkata :"Selamat datang, puteriku." Kemudian beliau mendudukkannya di
sebelah kanan atau kirinya. Lalu dia berbisik kepadanya. Maka Fatimah
menangis dengan suara keras. Ketika melihat kesedihannya, Nabi SAW ber-
bisik kepadanya untuk kedua kalinya, maka Fatimah tersenyum. Setelah itu
aku berkata kepada Fatimah :Rasulullah SAW telah berbisik kepadamu secara
khusus di antara isteri-isterinya, kemudian engkau menangis!" Ketika Nabi
SAW pergi, aku bertanya kepadanya :"Apa yang dikatakan Rasulullah SAW
kepadamu ?" Fatimah menjawab :"Aku tidak akan menyiarkan rahasia Rasul
Allah SAW." Aisyah berkata :"Ketika Rasulullah SAW wafat, aku berkata
kepadanya :"Aku mohon kepadamu demi hakku yang ada padamu, ceritakanlah
kepadaku apa  yang dikatakan Rasulullah SAW kepadamu itu ?" Fatimah pun
menjawab :"Adapun sekarang, maka baiklah. Ketika berbisik pertama kali
kepadaku, beliau mengabarkan kepadaku bahwa Jibril biasanya memeriksa
bacaannya terhadap Al Qur'an sekali dalam setahun, dan sekarang dia
memerika bacaannya dua kali. Maka, kulihat ajalku sudah dekat. Takutlah
kepada Allah dan sabarlah. Aku adalah sebaik-baik orang yang mendahului-
mu." Fatimah berkata :"Maka aku pun menangis sebagaimana yang engkau
lihat itu. Ketika melihat kesedihanku, beliau berbisik lagi kepadaku,
dan berkata :"Wahai, Fatimah, tidakkah engkau senang menjadi pemimpin
wanita-wanita kaum Mu'min  atau ummat ini ?" Fatimah berkata :"Maka aku
pun tertawa seperti yang engkau lihat."
        Inilah dia, Fatimah Az-Zahra'. Dia hidup dalam kesulitan, tetapi
mulia dan terhormat. Dia telah menggiling gandum dengan alat penggiling
hingg berbekas pada tangannya. Dia mengangkut air dengan qirbah hingga
berbekas pada dadanya. Dan dia menyapu rumahnya hingg berdebu bajunya.
Ali r.a. telah membantunya dengan melakukan pekerjaan di luar. Dia ber-
kata kepada ibunya, Fatimah binti Asad bin Hasyim :"Bantulah pekerjaan
puteri Rasulullah SAW di luar dan mengambil air, sedangkan dia akan men-
cupimu bekerja di dalam rumah :yaitu membuat adonan tepung, membuat roti
dan menggiling gandum."
        Tatkala suaminya, Ali, mengetahui banyak hamba sahaya telah
datang kepada Nabi SAW, Ali berkata kepada Fatimah, "Alangkah baiknya
bila engkau pergi kepada ayahmu dan meminta pelayan darinya." Kemudian
Fatimah datang kepada Nabi SAW. Maka beliau bertanya kepadanya :"Apa
sebabnya engkau datang, wahai anakku ?" Fatimah menjawab :"Aku datang
untuk memberi salam kepadamu." Fatimah merasa malu untuk meminta
kepadanya,
lalu pulang. Keesokan harinya, Nabi SAW datang kepadanya, lalu bertanya :
"Apakah keperluanmu ?" Fatimah diam.
        Ali r.a. lalu berkata :"Aku akan menceritakannya kepada Anda,
wahai Rasululllah. Fatimah menggiling gandum dengan alat penggiling
hingga melecetkan tangannya dan mengangkut qirbah berisi air hingga
berbekas di dadanya. Ketika hamba sahaya datang kepada Anda, aku me-
nyuruhnya agar menemui dan meminta pelayan dari Anda, yang bisa mem-
bantunya guna meringankan bebannya."
        Kemudian Nabi SAW bersabda :"Demi Allah, aku tidak akan memberikan
pelayan kepada kamu berdua, sementara aku biarkan perut penghuni Shuffah
merasakan kelaparan. Aku tidak punya uang untuk nafkah mereka, tetapi aku
jual hamba sahaya itu dan uangnya aku gunakan untuk nafkah mereka."
        Maka kedua orang itu pulang. Kemudian Nabi SAW datang kepada
mereka
ketika keduanya telah memasuki selimutnya. Apabila keduanya menutupi
kepala,
tampak kaki-kaki mereka, dan apabila menuti kaki, tampak kepala-kepala
mereka. Kemudian mereka berdiri. Nabi SAW bersabda :"Tetaplah di tempat
tidur kalian. Maukah kuberitahukan kepada kalian yang lebih baik daripada
apa yang kalian minta dariku ?" Keduanya menjawab :"Iya." Nabi SAW
bersabda:
"Kata-kata yang diajarkan Jibril kepadaku, yaitu hendaklah kalian
mengucap-
kan : Subhanallah setiap selesai shalat 10 kali, Alhamdulillaah 10 kali
dan Allahu Akbar 10 kali. Apabila kalian hendak tidur, ucapkan Subhanallah
33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan takbir (Allahu akbar) 33 kali."
        Dalam mendidik kedua anaknya, Fatimah memberi contoh : Adalah
Fatimah menimang-nimang anaknya, Al-Husein seraya melagukan :"Anakku
ini mirip Nabi, tidak mirip dengan Ali."
        Dia memberikan contoh kepada kita saat ayahandanya wafat. Ketika
ayahnya menjelang wafat dan sakitnya bertambah berat, Fatimah berkata :
"Aduh, susahnya Ayah !" Nabi SAW menjawab :"Tiada kesusahan atas Ayahanda
sesudah hari ini." Tatkala ayahandanya wafat, Fatimah berkata :"Wahai,
Ayah, dia telah memenuhi panggilang Tuhannya. Wahai, Ayah, di surfa
Firdaus
tempat tinggalnya. Wahai, Ayah, kepada Jibril kami sampaikan beritanya."
        Fatimah telah meriwayatkan 18 hadits dari Nabi SAW. Di dalam
Shahihain diriwayatkan satu hadits darinya yang disepakati oleh Bukhari
dan Muslim dalam riwayat Aisyah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Tirmi-
dzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud.  Ibnul Jauzi berkata :"Kami tidak
mengetahui
seorang pun di antara puteri-puteri Rasulullah SAW yang lebih banyak me-
riwayatkan darinya selain Fatimah."
        Fatimah pernah mengeluh kepada Asma' binti Umais tentang tubuh
yang kurus. Dia berkata :"Dapatkah engkau menutupi aku dengan sesuatu ?"
Asma' menjawab :"Aku melihat orang Habasyah membuat usungan untuk wanita
dan mengikatkan keranda pada kaki-kaki usungan." Maka Fatimah menyuruh
membuatkan keranda untuknya sebelum dia wafat. Fatimah melihat keranda
itu, maka dia berkata :"Kalian telah menutupi aku, semoga Allah menutupi
aurat kalian." [Imam Adz-Dzhabi telah meriwayatkan dalam "Siyar A'laamin
Nubala'. Semacam itu juga dari Qutaibah bin Said ...dari Ummi Ja'far]
        Ibnu Abdil Barr berkata :"Fatimah adalah orang pertama yang
dimasukkan ke keranda pada masa Islam." Dia dimandikan oleh Ali dan
Asma', sedang Asma' tidak mengizinkan seorang pun masuk. Ali r.a.
berdiri di kuburnya dan berkata :
        Setiap dua teman bertemu tentu
        akan berpisah
        dan semua yang di luar kematian
        adalah sedikit kehilangan satu demi satu
        adalah bukti bahwa teman itu
        tidak kekal
        Semoga Allah SWT meridhoinya. Dia telah memenuhi pendengaran,
mata dan hati. Dia adalah 'ibu dari ayahnya', orang yang paling erat
hubungannya dengan Nabi SAW dan paling menyayanginya. Ketika Nabi SAW
terluka dalam Perang Uhud, dia keluar bersama wanita-wanita dari Madinah
menyambutnya agar hatinya tenang. Ketika melihat luka-lukanya, Fatimah
langsung memeluknya. Dia mengusap darah darinya, kemudian mengambil air
dan membasuh mukanya.
        Betapa indah situasi di mana hati Muhammad SAW berdenyut
menunjukkan cinta dan sayang kepada puterinya itu. Seakan-akan
kulihat Az-Zahra' a.s. berlinang air mata dan berdenyut hatinya
dengan cinta dan kasih sayang. Selanjutnya, inilah dia, Az-Zahra',
puteri Nabi SAW, puteri sang pemimpin. Dia memberi contoh ketika
keluar bersama 14 orang wanita, di antara mereka terdapat Ummu
Sulaim binti Milhan dan Aisyah Ummul Mu'minin r.a. dan mengangkut
air dalam sebuah qirbah dan bekal di atas punggungnya untuk memberi
makan kaum Mu'minin yang sedang berperang menegakkan agama Allah SWT.
Semoga kita semua, kaum Muslimah, bisa meneladani para wanita mulia
tersebut. Amiin yaa Robbal'aalamiin.
Wallahu a'lam bishowab.
Bilal bin Rabah: Suara Emas dari Ethiopia 
Suatu malam, jauh sepeninggal Rasulullah, Bilal bin Rabbah, salah seorang sahabat utama, bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, Bilal bertemu dengan Rasulullah.
"Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali kepadamu," demikian Rasulullah berkata dalam mimpi Bilal.
"Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu," kata Bilal masih dalam mimpin-ya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang gulana. Ia dirundung rindu.
Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat lainnya. Seperti udara, kisah mimpi Bilal segera memenuhi ruangan kosong di hampir seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.
Hari itu, Madinah benar-benar terbungkus rasa haru. Kenangan semasa Rasulullah masih bersama mereka kembali hadir, seakan baru kemarin saja Rasulullah tiada. Satu persatu dari mereka sibuk sendiri dengan kenangannya bersama manusia mulia itu. Dan Bilal sama seperti mereka, diharu biru oleh kenangan dengan nabi tercinta.
Menjelang senja, penduduk Madinah seolah bersepakat meminta Bilal mengumandangkan adzan Maghrib jika tiba waktunya. Padahal Bilal sudah cukup lama tidak menjadi muadzin sejak Rasulullah tiada. Seolah, penduduk Madinah ingin menggenapkan kenangannya hari itu dengan mendengar adzan yang dikumandangkan Bilal.
Akhirnya, setelah diminta dengan sedikit memaksa, Bilal pun menerima dan bersedia menjadi muadzin kali itu. Senjapun datang mengantar malam, dan Bilal mengumandangkan adzan. Tatkala, suara Bilal terdengar, seketika, Madinah seolah tercekat oleh berjuta memori. Tak terasa hampir semua penduduk Madinah meneteskan air mata. "Marhaban ya Rasulullah," bisik salah seorang dari mereka.
Sebenarnya, ada sebuah kisah yang membuat Bilal menolak untuk mengumandangkan adzan setelah Rasulullah wafat. Waktu itu, beber-apa saat setelah malaikat maut menjemput kekasih Allah, Muhammad, Bilal mengumandangkan adzan. Jenazah Rasulullah, belum dimakam-kan. Satu persatu kalimat adzan dikumandangkan sampai pada kalimat, "Asyhadu anna Muhammadarrasulullah." Tangis penduduk Madinah yang mengantar jenazah Rasulullah pecah. Seperti suara guntur yang hendak membelah langit Madinah.
Kemudian setelah, Rasulullah telah dimakamkan, Abu Bakar meminta Bilal untuk adzan. "Adzanlah wahai Bilal," perintah Abu Bakar. 
Dan Bilal menjawab perintah itu, "Jika engkau dulu membe-baskan demi kepentinganmu, maka aku akan mengumandangkan adzan. Tapi jika demi Allah kau dulu membebaskan aku, maka biarkan aku menentukan pilihanku."
"Hanya demi Allah aku membebaskanmu Bilal," kata Abu Bakar.
"Maka biarkan aku memilih pilihanku," pinta Bilal.
"Sungguh, aku tak ingin adzan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah," lanjut Bilal.
"Kalau demikian, terserah apa maumu," jawab Abu Bakar.
***
Di atas, adalah sepenggal kisah tentang Bilal bin Rabah, salah seorang sahabat dekat Rasulullah. Seperti yang kita tahu, Bilal adalah seorang keturunan Afrika, Habasyah tepatnya. Kini Habasyah biasa kita sebut dengan Ethiopia.
Seperti penampilan orang Afrika pada umumnya, hitam, tinggi dan besar, begitulah Bilal. Pada mulanya, ia adalah budak seorang bangsawan Makkah, Umayyah bin Khalaf. Meski Bilal adalah lelaki dengan kulit hitam pekat, namun hatinya, insya Allah bak kapas yang tak bernoda. Itulah sebabnya, ia sangat mudah menerima hidayah saat Rasulullah berdakwah.
Meski ia sangat mudah menerima hidayah, ternyata ia menjadi salah seorang dari sekian banyak sahabat Rasulullah yang berjuang mempertahankan hidayahnya. Antara hidup dan mati, begitu kira-kira gambaran perjuangan Bilal bin Rabab.
Keislamannya, suatu hari diketahui oleh sang majikan. Sebagai ganjarannya, Bilal di siksa dengan berbagai cara. Sampai datang padanya Abu Bakar yang membebaskannya dengan sejumlah uang tebusan.
Bisa dikata, di antara para sahabat, Bilal bin Rabah termasuk orang yang pilih tanding dalam mempertahankan agamanya. Zurr bin Hubaisy, suatu ketika berkata, orang yang pertama kali menampak-kan keislamannya adalah Rasulullah. Kemudian setelah beliau, ada Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan keluarganya, Shuhaib, Bilal dan Miqdad.
Selain Allah tentunya, Rasulullah dilindungi oleh paman beliau. Dan Abu Bakar dilindungi pula oleh sukunya. Dalam posisi sosial, orang paling lemah saat itu adalah Bilal. Ia seorang perantauan, budak belian pula, tak ada yang membela. Bilal, hidup sebatang kara. Tapi itu tidak membuatnya merasa lemah atau tak berdaya. Bilal telah mengangkat Allah sebagai penolong dan walin-ya, itu lebih cukup dari segalanya.
Derita yang ditanggung Bilal bukan alang kepalang. Umayyah bin Khalaf, sang majikan, tak berhenti hanya dengan menyiksa Bilal saja. Setelah puas hatinya menyiksa Bilal, Umayyah pun menyerahkan Bilal pada pemuda-pemuda kafir berandalan. Diarak berkeliling kota dengan berbagai siksaan sepanjang jalan. Tapi dengan tegarnya, Bilal mengucap, "Ahad, ahad," puluhan kali dari bibirnya yang mengeluarkan darah.
Bilal bin Rabah, meski dalam strata sosial posisinya sangat lemah, tapi tidak di mata Allah. Ada satu riwayat yang membukti-kan betapa Allah memberikan kedudukan yang mulai di sisi-Nya.
Suatu hari Rasulullah memanggil Bilal untuk menghadap. Rasulullah ingin mengetahui langsung, amal kebajikan apa yang menja-dikan Bilal mendahului berjalan masuk surga ketimbang Rasulullah.
"Wahai Bilal, aku mendengar gemerisik langkahmu di depanku di dalam surga. Setiap malam aku mendengar gemerisikmu."
Dengan wajah tersipu tapi tak bisa menyembunyikan raut bahagianya, Bilal menjawab pertanyaan Rasulullah. "Ya Rasulullah, setiap kali aku berhadats, aku langsung berwudhu dan shalat sunnah dua rakaat."
"Ya, dengan itu kamu mendahului aku," kata Rasulullah membenarkan. Subhanallah, demikian tinggi derajat Bilal bin Rabah di sisi Allah.
Meski demikian, hal itu tak menjadikan Bilal tinggi hati dan merasa lebih suci ketimbang yang lain. Dalam lubuk hati kecilnya, Bilal masih menganggap, bahwa ia adalah budak belian dari Habasya, Ethiopia. Tak kurang dan tak lebih.
Bilal bin Rabah, terakhir melaksanakan tugasnya sebagai muadzin saat Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah. Saat itu, Bilal sudah bermukim di Syiria dan Umar mengunjunginya.
Saat itu, waktu shalat telah tiba dan Umar meminta Bilal untuk mengumandangkan adzan sebagai tanda panggilan shalat. Bilal pun naik ke atas menara dan bergemalah suaranya.
Semua sahabat Rasulullah, yang ada di sana menangis tak terkecuali. Dan di antara mereka, tangis yang paling kencang dan keras adalah tangis Umar bin Khattab. Dan itu, menjadi adzan terakhir yang dikumandangan Bilal, hatinya tak kuasa menahan kenangan manis bersama manusia tercinta, nabi akhir zaman.
 
"Berpulangnya" Duta Islam Pertama 
Mush'ab bin Umair, duta Islam yang pertama adalah salah seorang sahabat Rasulullah terkemuka yang pada saat remajanya merupakan sosok pribadi yang paling tampan dan penuh dengan jiwa kemudaan yang bersemangat. Para ahli tarikh melukiskan semangat kemudaannya dengan kalimat "Seorang warga kota Makkah yang mempunyai nama paling harum". Sungguh Mush'ab, lahir serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, menjadi buah-bibir gadis-gadis Makkah dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan....
Namun lihatlah sosoknya kini!!!..., tanpa takut suatu apapun ia menyatakan sumpah setianya kepada Rasulullah di suatu senja di Darul Arqam. Hatinya tertambat pada ayat-ayat al-Qur'an yang mengalir indah melalui lidah Rasulullah.
Hampir saja ia terangkat dari tempat duduknya karena rasa haru, dan serasa terbang karena gembira demi mendengar wahyu Allah. Tetapi Rasulullah segera mengulurkan tangan beliau yang penuh berkat dan kasih sayang dan mengurut dada yang penuh gejolak tersebut hingga tiba-tiba menjadi sebuah lubuk hati yang tenang dan damai.
Duta Islam pertama,... kepercayaan yang diberikan Rasulullah kepada anak muda ini sungguh luar biasa, masih banyak sahabat-sahabat Rasulullah yang lebih tua, lebih bijaksana, dan lebih dekat nasabnya kepada Rasulullah daripada Mush'ab namun sungguh Rasulullah telah memutuskan bahwa tugas Maha penting untuk menyiarkan Islam ke Madinah layak disandang Mush'ab....
Mush'ab memikul amanat itu dengan bekal karunia Allah kepadanya berupa kecerdasan dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran, dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun duyun masuk Islam.
.... Kemudian datanglah giliran perang Uhud, Kaum Muslimin bersiap-siap mengatur barisan... Rasulullah berdiri ditengah barisan melayangkan pandangan beliau kesegenap sahabat untuk memastikan siapa yang sebaiknya membawa bendera.... ..dan terpanggillah Mush'ab. 
Peperangan berkobar lalu berkecamuk dengan sengitnya. Ditengah-tengah peperangan pasukan panah melanggar dan tidak mentaati peraturan Rasulullah, hal ini secepatnya membalik kemenangan yang telah diperoleh Kaum Muslimin.... Tanpa diduga pasukan berkuda Quraisy menyerbu dari puncak bukit, lalu tombak dan pedangpun mengamuk membantai Kaum Muslimin yang tengah kacau balau. Melihat terbukanya kesempatan serangan Quraisy segera diarahkan kepada Rasulullah. Mush'ab menyadari suasana gawat ini..diacungkannya bendera setinggi-tingginya dan bagaikan auman singa ia bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju kemuka, melompat, mengelak dan berputar lalu menerkam. Hasratnya hanya satu.. mengalihkan perhatian musuh dari Rasulullah. Dibuatnya dirinya menjadi sedemikian rupa bagaikan barisan tentara...Sungguh walaupun seorang diri, Mush'ab bertempur laksana pasukan tentara besar... sebelah tangannya memegang bendera, sedang yang sebelah lagi menebaskan pedangnya yang tajam.....Namun musuh kian bertambah banyak juga, dan mereka hendak menyeberang dengan menginjak-injak tubuhnya untuk mencapai Rasulullah. 
Mush'ab gugur dalam peperangan ini dan inilah sat-saat terakhir Mush'ab sebagaimana dikisahkan oleh para sahabat:
"...Ketika datang seorang musuh berkuda, lalu menebas tangannya hingga putus, Mush'ab mengucapkan:"Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul". Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya Musuhpun menebas tangan kirinya hingga putus pula. Mush'ab membungkuk kearah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya ke dada sambil mengucapkan "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul". Lalu musuh berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga tombak itu pun patah. Mush'ab pun gugur dan bendera jatuh".
Mush'ab berpulang sebagai bintang para syuhada. Kalimat yang
diulang-ulanginya akhirnya dikukuhkan sebagai ayat al-Qur'an yang selalu dibaca orang...
Ketika mendapati jenazahnya yang hanya ditutupi sehelai burdah pendek - yang andaikan ditutup kepalanya niscaya tampaklah kakinya- Rasulullah pun bersabda: " Ketika aku di Mekah dulu, tak seorangpun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapih rambutnya daripadamu. Tetapi sekarang ini dengan rambutmu yang kusut masai engkau hanya ditutupi sehelai burdah."
Setelah melayangkan pandangan kearah medan peperangan Rasulullah berseru : "Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi nanti dihari kiamat, bahwa tuan-tuan sekalian adalah syuhada di sisi Allah"
Salam atasmu wahai Mus'ab...
Salam atasmu sekalian, wahai para syuhada....
PUTERI-PUTERI TELADAN DALAM ISLAM
2. Asma' binti Abu Bakar Ash-Shiddiq
        Dia seorang wanita muhajir yang mulia dan tokoh yang besar
karena akal dan kemuliaan jiwa serta kemauannya yang kuat. Asma'
dilahirkan tahun 27 sebelum Hijrah. Asma' 10 tahun lebih tua daripada
saudaranya seayah, Aisyah, Ummul Mu'minin dan dia adalah saudara se-
kandung dari Abdullah bin Abu Bakar.
Asma' mendapat gelar Dzatun nithaqain (si empunya dua ikat
pinggang), karena dia mengambil ikat pinggangnya, lalu memotongnya
menjadi dua. Kemudian, yang satu dia gunakan untuk sufrah (bungkus
makanan untuk bekal) Rasulullah SAW, dan yang lain sebagai pembungkus
qirbahnya pada waktu malam, ketika Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-
Shiddiq  keluar menuju gua.
        Penduduk Syam mengolok-olok Ibnu Zubair dengan julukan
"Dzaatun nithaqain" ketika mereka memeranginya. Maka Asma' bertanya
kepada puteranya itu, Abdullah bin Zubair :"Mereka mengolok-olokkan
kamu ?" Abdullah menjawab :"Ya." Maka Asma' berkata :"Demi Allah,
dia adalah benar." Ketika Asma' menghadap Al-Hajjaj, dia berkata:
"Bagaimana engkau mengolok-olok Abdullah dengan julukan Dzatun nitha-
qain ? Memang, aku mempunyai sepotong ikat pinggang yang harus dipakai
oleh orang perempuan dan sepotong ikat pinggang untuk menutupi makanan
Rasulullah SAW."
        Asma' telah lama masuk Islam di Mekkah, sesudah 17 orang dan
berbai'at kepada Nabi SAW, serta beriman kepadanya dengan iman yang
kuat.
Pengamalan Islam Asma' yang Baik
--------------------------------
        Pada suatu ketika, datang Qatilah binti Abdul Uzza kepada
puterinya, Asma' binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, sedangkan Abu Bakar
telah menalaknya di zaman jahiliyyah, membawa hadiah-hadiah berupa
kismis, samin dan anting-anting. Namun Asma' menolak hadiah tersebut
dan tidak mengizinkannya memasuki rumahnya. Kemudian dia memberitahu
Aisyah :"Tanyakan kepada Rasulullah SAW ....?" Aisyah menjawab :"Bi-
arlah dia memasuki rumahnya dan dia (Asma') boleh menerima hadiahnya."
Tindakan Asma' yang Baik
------------------------
        Abu Bakar r.a. membawa seluruh hartanya yang berjumlah 5.000
atau 6.000 ketika Rasulullah SAW pergi hijrah. Kemudian kakeknya, Abu
Quhafah datang kepada Asma' sedangkan dia seorang buta. Abu Quhafah
berkata :"Demi Allah, sungguh aku lihat dia telah menyusahkan kalian
dengan hartanya, sebagaiamana dia telah menyusahkan kalian dengan
dirinya."
        Maka Asma' berkata kepadanya:"Sekali-kali tidak, wahai, Kakek!
Beliau telah meninggalkan kebaikan yang banyak bagi kita." Kemudian
Asma' mengambil batu-batu dan meletakkanya di lubang angin, di mana
ayahnya pernah meletakkan uang itu. Kemudian dia menutupinya dengan
selembar baju. Setelah itu Asma' memegang tangannya (Abu Quhafah) dan
berkata: "Letakkan tangan Anda di atas uang ini." Maka kakeknya mele-
takkan tangannya di atasnya dan berkata :"Tidaklah mengapa jika dia
tinggalkan ini bagi kalian, maka dia (berarti) telah berbuat baik. Ini
sudah cukup bagi kalian." Sebenarnya Abu Bakar tidak meninggalkan se-
suatu pun bagi keluarganya, tetapi Asma' ingin menenangkan hati orang
tua itu.
        Az-Zubair ibnul Awwam menikah dengannya, sementara dia tidak
mempunyai harta dan sahaya maupun lainnya, kecuali kuda. Maka Asma'
memberi makan kudanya dan mencukupi kebutuhan serta melatihnya. Me-
numbuk biji kurma untuk makanan kuda, memberinya air minum dan membuat
adonan roti. Suatu ketika Az-Zubair bersikap keras terhadapnya, maka
Asma' datang kepada ayahnya dan mengeluhkan hal itu. Maka sang ayah
pun berkata : "Wahai anakku, sabarlah! Sesungguhnya wanita itu apabila
bersuami seorang yang sholeh, kemudian suaminya meninggal dunia, sedang
isterinya tidak menikah lagi, maka keduanya akan berkumpul di surga."
        Asma' datang kepada Nabi SAW, lalu bertanya :"Wahai, Rasulullah,
aku tidak punya sesuatu di rumahku, kecuali apa yang diberikan oleh Az-
Zubair kepadaku. Bolehkah aku memberikan dan menyedekahkan apa yang di-
berikan kepadaku olehnya ?" Maka Nabi SAW menjawab :"Berikanlah (berse-
dekahlah) sesuai kemampuanmu dan jangan menahannya agar tidak ditahan
pula suatu pemberian terhadapmu." Maka Asma' adalah termasuk seorang
wanita dermawan. Dari Abdullah bin Zubair r.a. dia berkata :"Tidaklah
kulihat dua orang wanita yang lebih dermawan daripada Aisyah dan Asma'."
Kedermawanan mereka berbeda. Adapun Aisyah, sesungguhnya dia suka mengum-
pulkan sesuatu, hingga setelah terkumpul padanya, dia pun membagikannya.
Sedangkan Asma', maka dia tidak menyimpan sesuatu untuk besoknya. Asma'
adalah seorang wanita yang dermawan dan pemurah. Dia tidak menyimpan
sesuatu untuk hari esok. Pernah dia menderita sakit, lalu dia bebaskan
semua hamba sahayanya.
        Asma' ikut dalam Perang Yarmuk bersama suaminya, Az-Zubair, dan
menunjukkan keberaniannya yang baik. Dia membawa sebilah belati dalam
pasukan Said bin Ash di masa fitnah, lalu diletakkannya di balik lengan
bajunya. Kemudian ditanyakan kepadanya :"Apa yang kamu lakukan dengan
membawa ini ?" Asma' menjawab :"Jika ada pencuri masuk kepadaku, maka
aku tusuk perutnya." Umar ibnul Khaththab r.a. memberi tunjangan untuk
Asma' sebanyak 1000 dirham.
        Asma' meriwayatkan 58 hadits dari Nabi SAW; dan dalam suatu
riwayat dikatakan : bahwa dia meriwayatkan 56 hadits [Al-Kazaruni,
"Mathaali'ul Anwaar"]. Telah sepakat antara Bukhari dan Muslim atas
14 hadits. Bukhari meriwayatkan sendiri atas 4 hadits, sedangkan Muslim
juga meriwayatkan sebanyak itu pula. [Al-Hafih Al-Maqdisi, Al-Kamaal fii
Ma'rifatir Rijaal]. Dalam satu riwayat : Diceritakan bahwa Asma' meri-
wayatkan 22 hadits dalam Shahihain. Sedangkan yang disepakati Bukhari dan
Muslim 13 hadits. Bukhari meriwayatkan sendiri 5 hadits, sedangkan Muslim
meriwayatkan 4 hadits. [Ibnul Jauzi, "Al-Mujtana"]
Asma' Sebagai Penyair dan Pemberani
-----------------------------------
        Asma' adalah wanita penyair dan pemberani yang mempunyai logika
dan bayan. Dia berkata mengenai suaminya, Az-Zubair, ketika dibunuh oleh
Amru bin Jarmuz Al-Mujasyi'i di Wadi As-Siba' (5 mil dari Basrah) ketika
kembali dari Perang Jamal :
        Ibnu Jarmuz mencurangi seorang pendekar
        dengan sengaja
        di waktu perang, sedang dia tidak lari
        Hai, Amru, kiranya kamu ingatkan dia
        tentu kamu mendapati dia
        bukan seorang yang bodoh, tidak kasar
        hati dan tangannya
        semoga ibumu menangisi, karena kamu
        bunuh seoranng Muslim
        dan kamu akan terima hukuman
        pembunuhan yang disengaja
Tekad Asma' yang Kuat, Kemuliaan Jiwa dan Keberaniannya
-------------------------------------------------------
        Kata-kata Asma' kepada puteranya menunjukkan kepada kita tentang
makna-makna yang luhur itu. Suatu saat puteranya, Abdullah, datang menemui
ibunya, Asma' yang buta dan sudah berusia 100 tahun. Dia berkata kepada
ibunya :"Wahai, Ibu, bagaimana pendapat Anda mengenai orang yang telah
meninggalkan aku, begitu juga keluargaku." Asma' berkata :"Jangan biarkan
anak-anak kecil bani Umayyah mempermainkanmu. Hiduplah secara mulia dan
matilah secara mulia. Demi Allah, sungguh aku berharap akan terhibur
mengenaimu dengan baik." Kemudian Abdullah keluar dan bertempur hingga ia
mati terbunuh.
        Konon, Al-Hajjaj bersumpah untuk tidak menurunkannya dari tiang
kayu hingga ibunya meminta keringanan baginya. Maka tinggallah dia di
situ selama satu tahun. Kemudian ibunya lewat di bawahnya dan berkata :
"Tidakkah tiba waktunya bagi orang ini untuk turun ?" Diriwayatkan, bahwa
Al-Hajjaj berkata kepada Asma' setelah Abdullah terbunuh :"Bagaimanakah
engkau lihat perbuatanku terhadap puteramu ?" Asma' menjawab :"Engkau
telah merusak dunianya, namun dia telah merusak akhiratmu."
        Asma' wafat di Mekkah dalam usia 100 tahun, sedang giginya tetap
utuh, tidak ada yang tanggal dan akalnya masih sempurna. [Mashaadirut
Tarjamah : Thabaqaat Ibnu Saad, Taarikh Thabari, Al-Ishaabah dan Siirah
Ibnu Hisyam]. Penulis buku, Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi mencatat dialog
yang terjadi antara Asma' dengan Abdullah, dalam sebuah kasidah yang di-
anggap sebuah karya seni yang indah. Dia berkata :
        Asma' di antara manusia adalah sebaik-baik wanita
        ia lakukan perbuatan terbaik di saat perpisahan
        datang kepadanya Ibnu Zubair menyeret baju besi
        di bawah baju besi berlumur darah
        Ia berkata : Wahai, Ibu, aku telah payah dengan urusanku
        antara penawanan yang pahit dan
        pembunuhan yang keji.
        Teman-teman dan zaman mengkhianatiku,
        maka aku tak punya teman selain pedangku
        kulihat bintangku yang tampak terang
        telah lenyap dariku dan tidak lagi naik.
        Kaumku telah berupaya melindungiku,
        maka tak ada penolong selain itu jika
        aku menerimanya.
        Asma' menjawab dengan kelopak mata
        yang kering seakan-akan tidak ada tempat sebelumnya
        bagi air mata.
        Air mata itu berubah menjadi uap
        yang naik dari hatinya yang patah.
        Tidaklah diselamatkan kecuali kehidupan
        atau ia menjadi tulang-belulang seperti
        halnya batang pohon
        kematian di medan perang lebih baik bagimu
        daripada hidup hina dan tunduk
        jika orang-orang menelantarkanmu,
        maka sabar dan tabahlah,
        karena Allah tidak menelantarkan.
        Matilah mulia, sebagaimana engkau hidup mulia
        dan hiduplah selalu dalam namamu
        yang mulia dan tinggi
        tiada di antara hidup dan mati
        kecuali menyerang di tengah pasukan itu.
        Kata-kata Asma' kepada puteranya ini akan tetap menjadi cahaya
di atas jalan kehidupan yang mulia, yaitu ketika puteranya berkata :
"Wahai, Ibu, aku takut jika pasukan Syam membunuhku, mereka akan memotong-
motong tubuh dan menyalibku." Asma' menjawab dengan perkataan yang kukuh
seperti gunung, kuat seperti jiwanya, besar seperti imannya, dan
perkataan itulah yang menentukan akhir pertempuran : "Hai, Anakku, sesung-
guhnya kambing yang sudah disembelih tidaklah merasa sakit bila ia
dikuliti."
        Al-Manfaluthi menyudahi kasidahnya dengan perkataan :
        Datang berita kematian kepada ibunya,
        maka ia pun mengeluarkan air matanya
        yang tertahan.
        Abdullah gugur sebagai syahid dan unggulan nilai-nilai yang tinggi
dari ibu teladan. Kisah ini tercatat dalam lembaran-lembaran yang paling
cemerlang dalam sejarah orang-orang yang kekal.
Wallahu a'lam bishowab.

